Judul Artikel :
Diterbitkan :
Dimuat di www.harianbernas.com
Pendidikan Monoton "Diskriminatif"
- - Industri Manufaktur Kurangi Produksi,
Hal. 20-22
- - Trend Lobi Bisnis Di Golf, Hal. 41-43
- - Asing Kuasai Bank Nasional, Hal. 46-47
- Cina, Pasar Otomotif
Terbesar, Hal. 58
Diterbitkan :
- Majalah Bisnis Internasional, Edisi.
63/2009 (ISSN: 1441-8491).
Surat Keterangan No.
012/BI-PP/I/2011. Dimuat di www.harianbernas.com
Pendidikan Monoton "Diskriminatif"
22 Juli 2016
Sudut Pandang
HarianBernas.com
- Negara menjadi hebat
sudah pasti karena penyelenggaraan pendidikan dinegara tersebut juga hebat.
Hebat dalam arti hasil dari proses belajar menghasilkan kualitas SDM yang hebat
juga. Guru harus memperlakukan siswanya menjadi pribadi yang mandiri, yaitu
pendidikan yang sesuai dengan bakat dan minat siswa itu sendiri, keahlian dan
berkarakter.
Saat ini,
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, menganut sistem pendidikan yang
monoton, artinya, siswa yang dikatakan berprestasi adalah siswa yang dapat
mengikuti sistem (peraturan) yang diterapkan oleh lembaga pendidikan dan
mendapatkan nilai bagus.
Siswa yang dianggap
“nakal”, tidak bisa mengikuti aturan sekolah, maka sekolah akan menegur anak
tersebut dan menghakimi karena prilakunya dianggap melanggar peraturan
sekolah. Seharusnya sebagai seorang pendidik tidak boleh menghakimi, memaksakan
kehendak kepada anak didiknya. Guru harus mampu mengarahkan anak didiknya
sesuai dengan keadaan dan kemampuannya.
Trend Bimbingan
Belajar
Sistem pendidikan saat
ini lebih mementingkan hasil nilai yang didapat, sebagai bentuk prestasi,
sehingga siswa hanya mementingkan bagaimana lulus dan mendapatkan nilai yang
baik. Akibatnya siswa bersaing mendapatkan nilai yang bagus, mereka
berlomba-lomba ikut bimbingan belajar di lembaga bimbingan belajar yang
menjamur bak musim hujan.
Dimana, siswa
diajarkan bagaimana cara menjawab soal-soal ujian dengan metode
penyelesain yang cepat, bahkan dengan rumus-rumus tertentu, yang menjadi nilai
jual lembaga bimbingan belajar tersebut.
Trend bimbingan
belajar saat ini, seakan-akan siswa dan orang tua murid lebih percaya ke
lembaga bimbingan belajar daripada lembaga sekolah untuk mendapatkan nilai yang
baik. Justru trend ini mengajarkan siswa berprilaku tidak baik, karena disana
diajarkan serba instan dalam menjawab soal-soal ujian, siswa menjadi tidak
menghargai proses dalam belajar, hanya berorientasi hasil saja.
Bahkan pada saat ujian
karena sibuk dengan cara menyelesaian soal-soal, mereka jadi tidak ada waktu
lagi untuk belajar materi yang diberikan di sekolah.
Mengapa pendidikan di
Indonesia dikatakan monoton “diskriminatif”, karena sistem pendidikan tidak
mampu mengakomodir anak-anak yang dianggap berprilaku nakal. Banyak
anak-anak didik karena prilakunya yang dianggap nakal dihakimi oleh sekolah
seperti di tegur, dihukum dan sampai memanggil oleh tuanya.
Seharusnya sistem
mendidikan mampu mengakomodir anak-anak yang dianggap nakal tersebut, didik
sesuai dengan cara mereka belajar, jangan dipaksa harus mengikuti mengikuti
peraturan yang ada. Kalau dipaksakan dengan aturan maka anak tersebut tidak
akan pernah berprestasi di sekolah tersebut. Jadi, disini guru harus
mampu mengajar dan membimbing anak didiknya dengan pendekatan pribadi, bukan
menghakimi.
Sebagai pembelajaran,
kita perhatikan dulunya anak didik yang dianggap nakal, bandel, tidak pernah
berprestasi di sekolah, bahkan sampai di keluarkan dari sekolahnya.
Kenyataannya, kini mereka menjadi seorang pebisnis yang hebat, pribadi yang
sukses. Tak ayal banyak diantara mereka saat ini, memiliki karyawan yang justru
sukses dalam pendidikan sampai mendapatkan gelar profesor.
Nah, sistem pendidikan
kita harus mampu mengakomodir anak didik yang seperti ini, agar bakat dan minat
serta kepekaannya semakin sensitive, apakah itu kepekaan entrepreneur, sosial,
dan lain-lain.
Di negara yang
pendidikan yang sudah maju, anak didik yang dianggap nakal ini diakomodir
dengan baik. Mereka diperlakukan sesuai dengan bakat dan minat secara mandiri
atau secara pribadi. Sebagai contoh anak didik yang duduk di bangku SMU berasal
dari Indonesia karena prilaku dan kenakalannya, dia dikeluarkan dari sekolah,
kemudian oleh orang tuanya anak yang dianggap bermasalah ini dipindahkan
sekolahnya apakah ke Malaysia, negera-negara Eropa, Amerika, Singapura,
Korea dan lain-lain.
Anak tersebut setelah
di tes justru dia diterima diperguruan tinggi yang memang mengakomodir anak
yang dianggap nakal ini. Hasilnya, luar biasa, mereka setelah diasah kualitas
keahlian, skill dan karakternya secara mandiri, setelah lulus, justru menjadi
seorang enterpreneur hebat dengan cara prilaku nakalnya.
Jadi, lembaga
pendidikan harus mampu mengakomodir semua prilaku anak-anak didik dengan cara
pembelajaran dan bimbingan mandiri sesuai dengan bakat dan minatnya.
Termasuk anak-anak didik yang kekurangan (disabilitas) harus dapat perlakuan
yang sama dengan yang lain, dengan cara harus dipenuhi segala fasilitas
pendukungnya. Dengan harapan semua anak bangsa mendapatkan mendidikan yang
berkualitas. (agungajusta).
Penulis : A. A. Gede Ajusta
Editor : Elyandra Widharta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar