Total Tayangan Halaman

Senin, 06 Februari 2017

ARTIKEL

Judul Artikel :
-       -   Industri Manufaktur Kurangi Produksi, Hal. 20-22
-       -  Trend Lobi Bisnis Di Golf, Hal. 41-43
-       -  Asing Kuasai Bank Nasional, Hal. 46-47
        -  Cina, Pasar Otomotif Terbesar, Hal. 58

Diterbitkan :
-   Majalah Bisnis Internasional, Edisi. 63/2009 (ISSN: 1441-8491).
Surat Keterangan No. 012/BI-PP/I/2011. 


Dimuat di www.harianbernas.com
Pendidikan Monoton "Diskriminatif"
22 Juli 2016
Sudut Pandang                                          

HarianBernas.comNegara menjadi hebat sudah pasti karena penyelenggaraan pendidikan dinegara tersebut juga hebat. Hebat dalam arti hasil dari proses belajar menghasilkan kualitas SDM yang hebat juga. Guru harus memperlakukan siswanya menjadi pribadi yang mandiri, yaitu pendidikan yang sesuai dengan bakat dan minat siswa itu sendiri, keahlian dan berkarakter.
Saat ini, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, menganut sistem pendidikan yang monoton, artinya, siswa yang dikatakan berprestasi adalah siswa yang dapat mengikuti sistem  (peraturan) yang diterapkan oleh lembaga pendidikan dan mendapatkan nilai bagus.
Siswa yang dianggap “nakal”, tidak bisa mengikuti aturan sekolah, maka sekolah akan menegur anak tersebut dan menghakimi karena prilakunya dianggap melanggar peraturan  sekolah. Seharusnya sebagai seorang pendidik tidak boleh menghakimi, memaksakan kehendak kepada anak didiknya. Guru harus mampu mengarahkan anak didiknya sesuai dengan keadaan dan kemampuannya.
Trend Bimbingan Belajar
Sistem pendidikan saat ini lebih mementingkan hasil nilai yang didapat, sebagai bentuk prestasi, sehingga siswa hanya mementingkan bagaimana lulus dan mendapatkan nilai yang baik. Akibatnya siswa bersaing mendapatkan nilai yang bagus, mereka berlomba-lomba ikut bimbingan belajar di lembaga bimbingan belajar  yang menjamur bak musim hujan.
Dimana, siswa diajarkan bagaimana  cara menjawab soal-soal ujian dengan metode penyelesain yang cepat, bahkan dengan rumus-rumus tertentu, yang menjadi nilai jual lembaga bimbingan belajar tersebut.
Trend bimbingan belajar saat ini, seakan-akan siswa dan orang tua murid lebih percaya ke lembaga bimbingan belajar daripada lembaga sekolah untuk mendapatkan nilai yang baik. Justru trend ini mengajarkan siswa berprilaku tidak baik, karena disana diajarkan serba instan dalam menjawab soal-soal ujian, siswa menjadi tidak menghargai proses dalam belajar, hanya berorientasi hasil saja.
Bahkan pada saat ujian karena sibuk dengan cara menyelesaian soal-soal, mereka jadi tidak ada waktu lagi untuk belajar materi  yang diberikan di sekolah.
Mengapa pendidikan di Indonesia dikatakan monoton “diskriminatif”, karena sistem pendidikan tidak mampu mengakomodir  anak-anak yang dianggap berprilaku nakal. Banyak anak-anak didik karena prilakunya yang dianggap nakal dihakimi oleh sekolah seperti di tegur, dihukum dan sampai memanggil oleh tuanya. 
Seharusnya sistem mendidikan mampu mengakomodir anak-anak yang dianggap nakal tersebut, didik sesuai dengan cara mereka belajar, jangan dipaksa harus mengikuti mengikuti peraturan yang ada. Kalau dipaksakan dengan aturan maka anak tersebut tidak akan pernah berprestasi di sekolah tersebut.  Jadi, disini guru harus mampu mengajar dan membimbing anak didiknya dengan pendekatan pribadi, bukan menghakimi.
Sebagai pembelajaran, kita perhatikan dulunya anak didik yang dianggap nakal, bandel, tidak pernah berprestasi di sekolah, bahkan sampai di keluarkan dari sekolahnya. Kenyataannya, kini mereka menjadi seorang pebisnis yang hebat, pribadi yang sukses. Tak ayal banyak diantara mereka saat ini, memiliki karyawan yang justru  sukses dalam pendidikan sampai mendapatkan gelar profesor.
Nah, sistem pendidikan kita harus mampu mengakomodir anak didik yang seperti ini, agar bakat dan minat serta kepekaannya semakin sensitive, apakah itu kepekaan entrepreneur, sosial, dan lain-lain.
Di negara yang pendidikan yang sudah maju, anak didik yang dianggap nakal ini diakomodir dengan baik. Mereka diperlakukan sesuai dengan bakat dan minat secara mandiri atau secara pribadi. Sebagai contoh anak didik yang duduk di bangku SMU berasal dari Indonesia karena prilaku dan kenakalannya, dia dikeluarkan dari sekolah, kemudian oleh orang tuanya anak yang dianggap bermasalah ini dipindahkan sekolahnya  apakah ke Malaysia, negera-negara Eropa, Amerika, Singapura, Korea dan lain-lain.
Anak tersebut setelah di tes justru dia diterima diperguruan tinggi yang memang mengakomodir anak yang dianggap nakal ini. Hasilnya, luar biasa, mereka setelah diasah kualitas keahlian, skill dan karakternya secara mandiri, setelah lulus, justru menjadi seorang enterpreneur hebat dengan cara prilaku nakalnya.
Jadi, lembaga pendidikan harus mampu mengakomodir semua prilaku anak-anak didik dengan cara pembelajaran dan bimbingan mandiri sesuai dengan bakat dan minatnya.  Termasuk anak-anak didik yang kekurangan (disabilitas) harus dapat perlakuan yang sama dengan yang lain, dengan cara harus dipenuhi segala fasilitas pendukungnya. Dengan harapan semua anak bangsa mendapatkan mendidikan yang berkualitas. (agungajusta).
Penulis : A. A. Gede Ajusta
Editor : Elyandra Widharta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar